Terlahir dengan keadaan sempurna,
terlahir dalam keluarga yang istimewa, memiliki seorang bunda yang aku yakin
tak ada duanya. Melihat kembali ribuan photo yang tertata rapi diatas lemari.
Ku buka satu persatu tanpa mengingat waktu yang ada. Ya, sebuah kenyataan hidup
yang mungkin sangat di idamkan semua manusia. Tanpaku sadari, aku termasuk dari
mereka yang beruntung. Masih memiliki orang tua lengkap hingga aku beranjak 17
tahun. Kebahagian yang aku rasakan tidak akan aku rasakan dimana pun. Hanya ada
di istana kecil milik kami. Dan engkau bunda, malaikat tak bersayapku, malaikat
pelindung ragaku, sungguh ingin aku katakan bahwa cintamu sangat menakjubkan.
Tak ada yang mampu untuk menandinginya. Nampak senyum mungil yang terlihat dari
satu photo yang ku pandang cukup lama. Berdampingan dengan sosok wanita yang
lebih terlihat dengan penuh kasih sayang. Itu aku, ya disaat aku masih sekolah
di Taman Kanak-kanak. Disaat aku masih bisa bermain kesana kemari tanpa
mengenal lelah, tanpa tau itu hal baik atau buruk. Disaat aku masih bisa tidur
bersama bunda dalam satu kamar. Disaat aku terlelap dan bunda kecup keningku
dengan penuh kemesraan. Dan disaat aku terbangun, aku masih bisa melihat bunda
tersenyum manis padaku. Waktu memang mustahil untuk berhenti sejenak dan
kembali berputar karena waktu porosnya dunia. Tingkahku yang terkadang membuat
bunda marah sangat tidak jarang aku lakukan. Mulai dari aku dipangkauan bunda
hingga aku tak disamping bunda. Kata maaf yang sering kali ingin aku ucapkan
selalu tertahan, seolah sangat enggan diucapkan. Mungkin hal ini disebabkan
oleh rasa gengsi yang berlebihan. Dan satu yang tak mungkin untuk aku berhenti
mengagumi malaikatku ini, bunda tak pernah mengungkit apa yang terjadi dihari
lalu. Dengan penuh rasa kasih, dengan luluh bunda langsung tersenyum meski
awalnya mulutnya tak henti bicara dengan nada yang mungkin sampai 4 oktaf.
Dan
kini usiaku beranjak ke 17 tahun. Disaat keadaan telah berubah terbalik 180
derajat. Disaat perubahan sikapku yang nampak tak biasa dihadapan bunda. Disaat
aku tlah mengalami pendewasaan. Tiba-tiba aku enggan untuk bunda memperlihatkan
bahwa ia sangat memanjaknku. Tapi bunda, bunda tetap seperti biasa, layak dulu
kala. Aku masih menatap tajam photo yang ada. Teringat wajah bunda yang ada
diseberang pulau sana. Ya, aku memilih untuk meneruskan SMA dikota orang. Aku
memilih Jogjakarta untuk memudahkan ke jenjang yang lebih tinggi nantinya.
Awalnya bunda sangat tidak setuju dengan keputusanku ini. Tapi aku terus
membujuknya hingga ia mengizinkan. “Bunda takut nanti terjadi apa-apa dengan
kamu nak.” Itu ucap bunda sebelum aku pergi meninggalkan kota Palembang.
Dua tahun telah aku jajaki dikota
Pelajar ini. Beribu kejadian yang seharusnya aku ceritakan langsung dengan
bertatap muka pada bunda harus aku urungkan, karena jarak yang memisahkan kami.
Kegiatan sekolah yang semakin padat, sering kali membuatku tidak membalas pesan
singkat dan mengangkat telepon dari bunda. Tapi aku terlihat biasa, padahal aku
yakin bunda sangat khawatir dengan keadaanku. Jam dikamarku terus berdetak.
Hingga malam semakim larut. Mataku yang semakin enggan terpejam terus mengingat
bunda yang sedang aku rindukan. Aku genggam handphoneku, mulai ku ketik pesan
untuk bunda, aku rangkai kata demi kata agar hati bunda tersentuh membacanya.
Tapi apa daya, belum sempat terkirim, aku dengan spontan menghapusnya. “Ah
besok saja, ini sudah sangat malam, mungkin bunda sudah lelap.” Ucapku dalam
hati.
Pagi datang bersama kokok ayam yang
bersaut-sautan. Aku bersiap sekolah seperti biasa. Sarapan yang selalu aku
siapkan sendiri, menjadi terbiasa sejak aku tidak tinggal bersama bunda. Nasi
goreng yang biasa bunda sajikan saat sarapan pagi, segelas susu putih, dan
masakan bunda, aku sangat merindukan itu. Beranjak dari pikiran yang
melayang-layang, aku bergegas ke sekolah. Tanpa bekal dari bunda yang biasa
bunda beri saat aku masih berpakaian putih biru. Saat tiba disekolah gairah pun
menurun sangat drastis. Wajah bunda yang berkeliling dibenak seolah semakin
cepat. Aku benar-benar merindukan bunda, rasa rindu yang tak terbendung lagi.
Pertemuan terakhirku dengan bunda, disaat bunda menjengukku diJogja dengan ayah
sekitar 7 bulan yang lalu. Pertemuan yang lagi-lagi dibatasi oleh waktu.
Pekerjaan yang tak mungkin ayah tinggalkan juga mengharuskan mereka pulang
lebih awal.
Kerinduan pada bunda yang semakin menggunung
sangat mengingatkan aku, disaat aku masih bersama mereka. Bila aku pulang dari
sekolah, aku selalu disambut dengan penuh kehangatan. Kemanjaan yang bunda beri
tak akan aku temukan pada mereka yang dekat padaku di kota orang tersebut.
Apapun yang ada pada bunda, aku pastikan tidak terdapat pada mereka selain
bunda. Rasa resah yang terkadang hadir, membuat hasratku ingin pulang ke
Palembang dan berkata tepat ditelinga bunda, Bunda aku rindu padamu, aku rindu
kasih sayangmu yang menakjubkan dan bila waktu dapat ku genggam, aku ingin
seperti dulu, disaat aku masih dalam pengawasaanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar