Percayalah sesuatu akan terjadi, Yakinlah sesuatu akan membuat hidupmu lebih bermakna apabila kamu berusaha ;)

W E L C O M E

Jumat, 13 Januari 2012

Aku butuh alasanmu, Ayah

         Aku seorang gadis kecil yang hidup dengan keadaan pas-pasan. Bersama kedua malaikat pelindungku, aku terpaksa tinggal menumpang dirumah saudagar kaya raya, dengan imbalan orang tuaku bekerja padanya karena kata ibu gubuk tua kami terbakar saat kejadian malam tahun baru sebelum aku terlahir. Tapi kedua orang tuaku masih mampu membiayai sekolah dengan pembayaran yang kian menjulang walau upah yang mereka terima tidak mencukupi untuk membayar pembayaran sekolahku. Namaku Ayu Ningrum. Aku sering kali disapa ayu. Aku terlahir di dunia dengan keluarga yang begitu sempurna, meski keadaan tubuhku yang tak sesempurna keluarga. Pertanyaan yang selalu berbenak dipikiranku ini yang kian lama kian menjadi-jadi, yang semakin membuatku bertanya-tanya apakah aku mampu jadi yang terbaik bagi mereka. Tapi kedua malaikatku mengatakan ibu dan ayah percaya padamu nak, kamu pasti mampu, ibu yakin kamu tidak akan mengecewakan kami. Perkataan itu membuatku seolah membawa beban yang semakin tak terpikul. Keyakinan yang perlahan muncul, kepercayaan dari mereka yang tak mungkin disia-siakan, dan aku yakin bisa walaupun aku harus duduk dikursi roda karena aku hanya memiliki sebuah kaki. Waktu yang semakin membuatku dewasa, tapi waktu belum membuat perubahan pada kakiku seperti mereka yang bisa mereka gunakan semaunya.
            Kini usiaku telah beranjak 16 tahun. Keadaan kakiku setiap pergantian tahun tetap tidak ada perubahan. Aku hanya mempunyai impian untuk membeli sebuah kaki palsu yang sangat aku idamkan. Tapi sayang kedua malaikatku belum mampu memenuhi permintaanku yang satu ini. Dan aku pun sangat mengerti keadaan ekonomi kami, tempat tinggal pun sampai saat ini masih menumpang. Walaupun sudah lebih dari umurku kami menumpang dirumah ini, saudagar kaya raya itu tak pernah ada niat untuk mengusir keluarga kami apabila ada dari salah satu orang tuaku melakukan kesalahan fatal. Beliau tak segan untuk tersenyum dan memaafkan. Tuhan, alangkah mulia bapak ini, buat hidupnya lebih bahagia dari hidupku. Tapi peristiwa yang tak terduga, saudagar kaya raya itu mengetahui keinginanku untuk membeli sebuah kaki palsu. Aku sungguh tak mengerti, dari mana sosok mulia ini mengetahui keinginanku, dan aku lebih terkejut lagi disaat beliau berniat membelikan kaki palsu itu awal bulan nanti. Dengan alasan apa beliau mempunyai niat seperti itu. Apakah beliau sekedar kasihan dengan keadaan kakiku yang malang ini atau adakah alasan lain ? Ini hanya rahasia yang mungkin nanti suatu saat semua akan nampak jelas di depan mata. Kebaikan yang selalu aku rasakan semakin membuatku berpikir alangkah bahagianya Dian memiliki sosok ayah seperti Bapak Wardana. Dian Sastra Wardana, putri tunggal dari Pak Wardana yang lebih tua 4 tahun dariku. Tapi sayang sikap yang dimilikinya tidak seelok ayahnya. Dian sering kali menampakan sikapnya yang dingin padaku. Keadaan Dian sama denganku, dia pula seorang penyandang cacat. Dan aku tahu, aku sadar diri, aku pantas dibenci, karena aku hanya anak dari seorang pembantu rumah tangga. Tidak seperti dia yang memiliki semua yang ia pinta, mungkin hal itu yang menyebabkan dia terlihat lebih arogan. Istri Pak Wardana telah meninggal dunia sekitar 16 tahun yang lalu. Disaat kecelakaan hebat yang menimpa keluarga Pak Wardana, kecelakaan itu hanya merenggut nyawa Istrinya, Pak Wardana sendiri mengalami patah tulang dibagian tangan, dan Dian menjadi sulit berbicara semenjak kecelakaan itu. Mungkin lagi, Dian lebih manja kepada ayah nya karena ia sudah ditinggal ibunya sejak 16 tahun yang lalu. Keakraban antara aku dan Pak Wardana ditentang oleh putri semata wayangnya itu. Aku pun sangat tak mengerti apa yang dipikiran Dian. Aku hanya gadis lumpuh yang tak punya harta berlimpah sepertinya, tak pantas menurutku bila ia iri padaku.
            Orang tuaku terlihat ada yang berbeda saat aku semakin akrab dengan Pak Wardana. Tapi aku masih biasa menyikapinya. Sebenarnya keakraban kami hanya sekedar saling bercerita masalah pribadi satu sama lain. Tapi satu rasa berbeda saat aku bersamanya, aku selalu nyaman. Pak Wardana selalu bercerita tentang Istri yang sangat ia cintai itu, beliau juga bercerita tentang putri tunggalnya, Dian sangat tidak senang bila beliau terlalu dekat denganku. Dengan alasan apa dia berkata seperti itu. Aku tak sedikit pun ragu untuk menanyakan hal itu. Pak Wardana bercerita panjang lebar tentang hal itu. Pak Wardana mengatakan bahwa Dian tak ingin perhatian yang diberikan oleh ayahnya diberikan pula padaku. Ia tak ingin kasih sayang yang diberikan ayahnya dibagi pula kepadaku. Apalagi disaat Pak Wardana mengajak aku pergi untuk membuat kaki palsu yang sangat aku idamkan. Kecemburuan sosial yang sangat terlihat membuatnya semakin tidak senang padaku seolah aku akan membawa ayahnya pergi dak tak kembali. Dan kesimpulanku hal itulah yang menyebabkan dia sangat membenciku. Oh tuhan, aku hanya tertawa kecil. Tapi aku mencoba memahami hal itu. Ku lihat Pak Wardana sedang duduk termenung didepan rumah sambil menatap kosong ke jalan. Aku mencoba untuk mencairkan suasana.
            “Butuh batuanku tuan Wardana?” tanyaku dengan pelan.
            “Oh tidak terimakasih gadis cantik. Kau sudah terlalu banyak membantuku.” Balas Pak Wardana seolah enggan merepotkanku.
            Suasana kembali hening. Dan aku kembali diam tanpa suara apapun sambil mendekatkan kursi rodaku ke tempat duduknya. Seperti sesuatu hebat bahkan menakjubkan telah terjadi dirumah megah ini. Sebenarnya apa yang terjadi, apakah ini ada urusannya dengan kehadiranku disini ? Tiba-tiba semua pikiran terhenti oleh suara yang sejenak mengejutkanku.
            “Nak Ayu...” Ucap pak Wardana dengan pelan.
            “Ya tuan, ada apa ?” Jawabku.
            “Apakah kamu merasakan nyaman berada didekatku ?” Tanya Pak Wardana.
            Aku diam. Pertanyaan apa ini. Mengapa orang yang telah berkepala empat ini menanyakan hal itu ? Oh tuhan ada apa ini. Aku tak mungkin tak menjawab pertanyaan beliau. Aku pun mulai berbicara, menjawab seadanya dengan apa yang terasa selama ini.
            “Ya tuan, aku nyaman meski tak seakrab beberapa minggu yang lalu.” Jawabku ragu seolah takut salah kata.
            Setelah mendengar jawaban dariku, Pak Wardana meninggalkanku. Aku yang diliputi dengan tanda tanya semakin tak mengerti keadaan dunia. Ada apa ini ? apakah aku salah berkata ? apakah ada kata yang tidak berkenan dihatinya pak Wardana ? beribu pertanyaan bersarang dikepalaku. Senja semakin nampak, aku yang semakin tak mengerti dengan keadaan rumah ini masuk kerumah dan mencoba bercerita pada kedua orang tuaku. Sepanjang perjalananku dari luar rumah menuju kamar seolah menjadi perjalanan yang sangat panjang. Tertunduk tanpa menatap kedepan. Aku semakin bimbang. Saat aku dikamar, kebetulan kedua orang tuaku sedang berkumpul. Aku langsung mendekati mereka.
            “Ada apa denganmu nak ?” Tanya ibuku dengan wajah heran.
            “Ibu, Ayah, apakah aku boleh bertanya sesuatu ?” Tanyaku pelan dengan wajah penuh pertanyaan.
            “Apa nak, tanyakan pada ayah dan ibu bila ada yang janggal dihatimu.” Jawab ayahku dengan kata-kata yang aku yakin ayah tahu suatu hal.
            “Apakah ayah dan ibu menyembunyikan sesuatu padaku ?” Tanyaku lagi pada mereka.
            Tiba-tiba suasana hening. Kedua mulut mereka terdiam seakan enggan menjawab pertanyaan yang selalu menghantuiku akhir-akhir ini. Kedua mataku tak henti menatap mereka. Aku berharap mereka segera mengatakan sesuatu padaku. Ayo ibu, ayo ayah, katakan padaku apa yang kalian sembunyikan dariku. Rasa ingin tahuku semakin menggunung. Tapi sebelum pertanyaan itu dijawab oleh mereka, kehebohan terjadi didalam rumah megah itu. Tiba-tiba terdengar suara benda yang terjatuh. Ya, beberapa guci yang ada dimeja dijatuhkan oleh Dian. Aku dan kedua orang tuaku segera keluar dari kamar. Mengamuknya Dian membuat seisi rumah diam kaku. Dia menatapku dengan penuh rasa kebencian. Aku semakin tak mengerti hidup ini. Apa salahku pada Dian hingga dia sebenci itu padaku ? Seketika Dian melemparkan pecahan guci tersebut kearahku. Tapi syukur, dengan cepat aku segera menghindar. Tingkah Dian sendiri membuat tangan kanan ayahnya mendarat dipipi kanannya. Keadaan lebih hening lagi. Aku semakin tertunduk, seakan ini salahku seutuhnya. Dian menatap ayahnya sangat dalam, perlahan air mata yang sangat jarang terlihat begitu saja menetes. Aku pun semakin ingin tahu, dengan alasan apa Pak Wardana selalu membelaku. Pak Wardana mendekati kami, dia menatap kedua orang tuaku. Aku semakin heran dengan tingkah semua orang yang ada disini. Kedua orang tuaku menganggukan kepala. Ada apa ini ? Apa yang mereka setujukan dari tatapan pak Wardana ? Oh Tuhan, aku semakin sulit untuk memahami apa yang terjadi. Apa yang akan Engkau tunjukan padaku.
            “Katakanlah Tuan Wardana, mungkin ini waktu yang tepat.” Kata ayah sambil memegang pundak Pak Wardana.
            Sosok mulia sekaligus saudagar kaya raya itu tersenyum pada ayah. Kepalaku yang semakin tak kuat untuk menerima ribuan pertanyaan lainnya semakin tak karuan. Sesuatu akan segera aku ketahui. Aku dan kedua orang tuaku diminta untuk mengikuti Pak Wardana dari belakang. Dan tak disangka kami diajaknya kekamar putri tunggalnya itu. Aku berharap ini tidak akan membuat keadaan semakin parah. Aku berharap keadaan akan baik-baik saja. Awalnya putri tunggal Pak Wardana enggan membukakan pintu kamarnya. Tapi, atas bujukan Pak Wardana sendiri, Dian mau membukakan pintunya. Dan kami pun masuk meski aku masih dalam keadaan penuh tanya. Ini adalah pertama kalinya aku memasuki kamar itu. Aku melihat Dian yang duduk sambil merangkul kakinya diatas kasur. Disaat aku mulai memasuki kamar Dian, terlihat dinding kamarnya terdapat banyak tulisan tangan Dian dengan kalimat Ayu seorang pembunuh, Aku sangat membenci Ayu, Aku benci gadis lumpuh itu, Aku rindu sosok ibuku, dan masih banyak lagi. Semua tulisan itu membuat ku semakin tak mengerti maksud Dian. Pak Wardana menatapku. Aku semakin tak punya keberanian untuk memasuki kamar itu yang menurutku itu adalah neraka. Beribu pertanyaan semakin menghantuiku. Siapa orang yang aku bunuh ? Ayah, ibu, ada apa ini ?  Sekejap aku langsung menatap tajam kedua malaikatku yang berdiri tepat dibelakangku. Satu pertanyaan yang semakin menggerogoti otakku. Siapa sosok Ayu Ningrum sebenarnya ? Adakah sesuatu yang telah terjadi saat aku belum mengetahui kejamnya dunia ? Ini tak adil tuhan. Cukup engkau ambil satu kaki milikku. Tanpa harus engkau buat aku tersiksa. Aku enggan keadaan semakin menyiksaku seperti ini. Aku yakin ada alasan yang tak aku  ketahui mengapa Dian sangat membenciku. Aku mulai berbicara meski perih mulai terasa.
            “Apakah aku boleh tau siapa aku sebenarnya ? Apakah aku boleh tau, apa maksud Dian menulis semua ini ? Aku harap kalian yang sedang mendengarkanku sekarang, menjawab dengan jujur. Aku mohon tidak ada lagi dusta dirumah ini.” Pintaku pada mereka dengan wajah terlihat tak bersemangat.
            “Ayu Ningrum, dengarkan aku. Kau adalah anakku. Kau anak keduaku. Kau putriku. Dan Dian adalah saudara perempuanmu. Maafkan ayahmu ini nak, maafkan ayah yang telah bersembunyi dari kenyataan pahit ini.” Jelas Pak Wardana pada Ayu putri bungsunya.
            “Anda bercanda terlalu berlebihan tuan Wardana! Ini cukup membuatku ingin tertawa. Tidak puaskah anda dengan tersiksanya aku dalam keadaan ini ?” Balas Ayu dengan tetesan air mata dipipinya.
            “Ini fakta nak, inilah kenyataan hidup. Inilah yang kami sembunyikan darimu selama ini. Maafkan kami nak, maafkan ayah.” Ucap Pak Wardana sambil menatapku hingga air mata tak terbendung lagi.
            Keadaan sejenak hening. Tidak ada yang mampu dan tidak ada yang memberanikan diri untuk mulai angkat bicara. Tapi Pak Wardana berusaha tetap menjelaskan apa yang terjadi selama 16 tahun yang lalu. Keadaan semakin sulit untuk ku pahami.
            “Nak, dengarkan aku. Aku ayah mu. Ayah kandungmu. 16 tahun yang lalu, saat Dian berumur 4 tahun dan kau baru saja berumur beberapa bulan, disaat itu keadaan badanmu sangat panas. Kami sekeluarga panik. Dan saat perjalanan menuju rumah sakit, kecelakaan hebat yang pernah aku ceritakan padamu itu menimpa keluarga kita. Ya, akibatnya kakimu harus diamputasi. Ayah tidak sanggup harus menerima kenyataan yang begitu pahit itu.” Pak Wardana berusaha menceritakan semua.
            “Ya, ini mungkin kenyataan yang sangat membuatku tak sanggup bernafas. Pak Wardana, apakah aku boleh mengetahui alasanmu enggan mengakui sebagai anakmu ?” Tanya Ayu dengan mata yang masih berbinar-binar.
            “Nak, sekali lagi maafkan ayah. Ayah bukan bermaksud enggan mengakuimu. Tapi ayah masih belum bisa menerima pahitnya kenyataan yang ayah terima, ayah terlalu depresi dengan kejadian itu. Harus menerima perginya orang yang sangat ayah sayangi. Harus menerima keadaan kalian berdua yang cacat. Tapi Ayah pikir, rasanya cukup dengan 16 tahun, semua ini disembunyikan. Ayah tidak ingin engkau lebih marah dengan keadaan ini.” Jelas Pak Wardana lagi.
            “Ini sangat tidak bisa dipercaya. Apa alasan ibu mengatakan bahwa rumah kita terbakar saat malam tahun baru itu ? Apa ingin kalian dariku ? Apakah kalian menginginkanku tidak hidup ? Dan kau Dian, kakak perempuanku, apakah kau tau, bila aku tau, aku akan terlahir dengan keadaan ini, mungkin aku akan memohon pada tuhan agar ia tidak menciptakanku. Bila aku tau, ibuku tersayang akan pergi meninggalkan kita disaat ia mengantarkanku kerumah sakit, mungkin aku tidak akan memilih untuk sakit. Tapi aku tidak mengetahui takdir Dian. Aku hanya gadis kecil yang ingin hidup bahagia. Aku punya hak untuk hidup meski keadaanku yang tak sempurna, hargai aku!” ucapku panjang lebar dengan air mata yang semakin mengucur.
            “Maafkan kami nak, maafkan ibu yang ikut berbohong dalam keadaan ini. Maafkan ibu yang membuat kamu tersiksa dengan keadaan ini.” Kata ibunya yang hanya mampu mengucap maaf.
            “Ayu, maafkan ayah nak. Maafkan ayah yang sempat tidak menerima takdir. Ayah mengaku salah.” Lanjut Ayah kandung Ayu sambil beranjak untuk memeluk Ayu.
            “Ayah, maafkan Ayu, maafkan Ayu karena sempat emosi dengan keadaan ini. Ya, ayu mengerti bagaimana perasaan ayah saat itu. Tapi bagaimana dengan kak Dian ? Apakah dia akan menerima ayu dikeluarga ini dengan keadaan seperti ini ? Ayu sungguh letih ayah bila harus menerima caci-maki terus-menerus darinya.” Ucapnya dengan suara yang penuh kelembutan.
            “Ayah yakin, Dian akan menerima kamu nak. Dian pasti akan mengerti keadaan ini.” Kata Pak Wardana sambil memberi semangat pada Ayu.
            Perbincangan yang terjadi saat itu menjadi tontonan menakjubkan bagi kedua orang tua angkat Ayu dan Dian. Tersenyum dengan sikap Ayu yang sangat mudah untuk memaafkan karena mereka merasa telah berhasil mendidik Ayu meski hanya jadi orang tua angkatnya. Perlahan Dian menolehkan kepalanya kearahku dan ayah dengan tetesan air mata yang mulai membasahi pipi merahnya. Tiba-tiba Dian langsung berlari memeluk aku dan ayah. Suara tangisan semakin terdengar. Dian menatapku masih dengan air matanya. Dian berusaha mengucapkan sesuatu dari mulutnya. Kalimat yang diucapkannya sedikit tidak jelas karena pangkal lidahnya yang putus saat kecelakaan itu. Aku terus mencoba untuk memahami. Satu kalimat yang terdengar meski tak begitu jelas yaitu, ‘Ayu... maafkan kakak. Aku sayang kamu!” kalimat yang membuatku semakin meneteskan air mata menahan haru. Terima kasih tuhan, terima kasih bahagia yang kau beri untukku dan keluargaku meski ibu hanya bisa tersenyum di surga sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar