Aku
seorang gadis kecil yang hidup dengan keadaan pas-pasan. Bersama kedua malaikat
pelindungku, aku terpaksa tinggal menumpang dirumah saudagar kaya raya, dengan
imbalan orang tuaku bekerja padanya karena kata ibu gubuk tua kami terbakar saat
kejadian malam tahun baru sebelum aku terlahir. Tapi kedua orang tuaku masih
mampu membiayai sekolah dengan pembayaran yang kian menjulang walau upah yang
mereka terima tidak mencukupi untuk membayar pembayaran sekolahku. Namaku Ayu
Ningrum. Aku sering kali disapa ayu. Aku terlahir di dunia dengan keluarga yang
begitu sempurna, meski keadaan tubuhku yang tak sesempurna keluarga. Pertanyaan
yang selalu berbenak dipikiranku ini yang kian lama kian menjadi-jadi, yang
semakin membuatku bertanya-tanya apakah aku mampu jadi yang terbaik bagi mereka.
Tapi kedua malaikatku mengatakan ibu dan ayah percaya padamu nak, kamu pasti
mampu, ibu yakin kamu tidak akan mengecewakan kami. Perkataan itu membuatku
seolah membawa beban yang semakin tak terpikul. Keyakinan yang perlahan muncul,
kepercayaan dari mereka yang tak mungkin disia-siakan, dan aku yakin bisa
walaupun aku harus duduk dikursi roda karena aku hanya memiliki sebuah kaki.
Waktu yang semakin membuatku dewasa, tapi waktu belum membuat perubahan pada
kakiku seperti mereka yang bisa mereka gunakan semaunya.
Kini usiaku telah beranjak 16 tahun.
Keadaan kakiku setiap pergantian tahun tetap tidak ada perubahan. Aku hanya mempunyai
impian untuk membeli sebuah kaki palsu yang sangat aku idamkan. Tapi sayang
kedua malaikatku belum mampu memenuhi permintaanku yang satu ini. Dan aku pun
sangat mengerti keadaan ekonomi kami, tempat tinggal pun sampai saat ini masih
menumpang. Walaupun sudah lebih dari umurku kami menumpang dirumah ini,
saudagar kaya raya itu tak pernah ada niat untuk mengusir keluarga kami apabila
ada dari salah satu orang tuaku melakukan kesalahan fatal. Beliau tak segan
untuk tersenyum dan memaafkan. Tuhan, alangkah mulia bapak ini, buat hidupnya
lebih bahagia dari hidupku. Tapi peristiwa yang tak terduga, saudagar kaya raya
itu mengetahui keinginanku untuk membeli sebuah kaki palsu. Aku sungguh tak
mengerti, dari mana sosok mulia ini mengetahui keinginanku, dan aku lebih
terkejut lagi disaat beliau berniat membelikan kaki palsu itu awal bulan nanti.
Dengan alasan apa beliau mempunyai niat seperti itu. Apakah beliau sekedar
kasihan dengan keadaan kakiku yang malang ini atau adakah alasan lain ? Ini
hanya rahasia yang mungkin nanti suatu saat semua akan nampak jelas di depan
mata. Kebaikan yang selalu aku rasakan semakin membuatku berpikir alangkah
bahagianya Dian memiliki sosok ayah seperti Bapak Wardana. Dian Sastra Wardana,
putri tunggal dari Pak Wardana yang lebih tua 4 tahun dariku. Tapi sayang sikap
yang dimilikinya tidak seelok ayahnya. Dian sering kali menampakan sikapnya
yang dingin padaku. Keadaan Dian sama denganku, dia pula seorang penyandang
cacat. Dan aku tahu, aku sadar diri, aku pantas dibenci, karena aku hanya anak
dari seorang pembantu rumah tangga. Tidak seperti dia yang memiliki semua yang
ia pinta, mungkin hal itu yang menyebabkan dia terlihat lebih arogan. Istri Pak
Wardana telah meninggal dunia sekitar 16 tahun yang lalu. Disaat kecelakaan
hebat yang menimpa keluarga Pak Wardana, kecelakaan itu hanya merenggut nyawa
Istrinya, Pak Wardana sendiri mengalami patah tulang dibagian tangan, dan Dian
menjadi sulit berbicara semenjak kecelakaan itu. Mungkin lagi, Dian lebih manja
kepada ayah nya karena ia sudah ditinggal ibunya sejak 16 tahun yang lalu.
Keakraban antara aku dan Pak Wardana ditentang oleh putri semata wayangnya itu.
Aku pun sangat tak mengerti apa yang dipikiran Dian. Aku hanya gadis lumpuh yang
tak punya harta berlimpah sepertinya, tak pantas menurutku bila ia iri padaku.
Orang tuaku terlihat ada yang
berbeda saat aku semakin akrab dengan Pak Wardana. Tapi aku masih biasa
menyikapinya. Sebenarnya keakraban kami hanya sekedar saling bercerita masalah
pribadi satu sama lain. Tapi satu rasa berbeda saat aku bersamanya, aku selalu
nyaman. Pak Wardana selalu bercerita tentang Istri yang sangat ia cintai itu,
beliau juga bercerita tentang putri tunggalnya, Dian sangat tidak senang bila
beliau terlalu dekat denganku. Dengan alasan apa dia berkata seperti itu. Aku
tak sedikit pun ragu untuk menanyakan hal itu. Pak Wardana bercerita panjang
lebar tentang hal itu. Pak Wardana mengatakan bahwa Dian tak ingin perhatian
yang diberikan oleh ayahnya diberikan pula padaku. Ia tak ingin kasih sayang
yang diberikan ayahnya dibagi pula kepadaku. Apalagi disaat Pak Wardana
mengajak aku pergi untuk membuat kaki palsu yang sangat aku idamkan.
Kecemburuan sosial yang sangat terlihat membuatnya semakin tidak senang padaku
seolah aku akan membawa ayahnya pergi dak tak kembali. Dan kesimpulanku hal
itulah yang menyebabkan dia sangat membenciku. Oh tuhan, aku hanya tertawa
kecil. Tapi aku mencoba memahami hal itu. Ku lihat Pak Wardana sedang duduk
termenung didepan rumah sambil menatap kosong ke jalan. Aku mencoba untuk mencairkan
suasana.
“Butuh batuanku tuan Wardana?”
tanyaku dengan pelan.
“Oh tidak terimakasih gadis cantik.
Kau sudah terlalu banyak membantuku.” Balas Pak Wardana seolah enggan
merepotkanku.
Suasana kembali hening. Dan aku
kembali diam tanpa suara apapun sambil mendekatkan kursi rodaku ke tempat
duduknya. Seperti sesuatu hebat bahkan menakjubkan telah terjadi dirumah megah
ini. Sebenarnya apa yang terjadi, apakah ini ada urusannya dengan kehadiranku
disini ? Tiba-tiba semua pikiran terhenti oleh suara yang sejenak
mengejutkanku.
“Nak Ayu...” Ucap pak Wardana dengan
pelan.
“Ya tuan, ada apa ?” Jawabku.
“Apakah kamu merasakan nyaman berada
didekatku ?” Tanya Pak Wardana.
Aku diam. Pertanyaan apa ini.
Mengapa orang yang telah berkepala empat ini menanyakan hal itu ? Oh tuhan ada
apa ini. Aku tak mungkin tak menjawab pertanyaan beliau. Aku pun mulai
berbicara, menjawab seadanya dengan apa yang terasa selama ini.
“Ya tuan, aku nyaman meski tak
seakrab beberapa minggu yang lalu.” Jawabku ragu seolah takut salah kata.
Setelah mendengar jawaban dariku,
Pak Wardana meninggalkanku. Aku yang diliputi dengan tanda tanya semakin tak
mengerti keadaan dunia. Ada apa ini ? apakah aku salah berkata ? apakah ada
kata yang tidak berkenan dihatinya pak Wardana ? beribu pertanyaan bersarang
dikepalaku. Senja semakin nampak, aku yang semakin tak mengerti dengan keadaan
rumah ini masuk kerumah dan mencoba bercerita pada kedua orang tuaku. Sepanjang
perjalananku dari luar rumah menuju kamar seolah menjadi perjalanan yang sangat
panjang. Tertunduk tanpa menatap kedepan. Aku semakin bimbang. Saat aku
dikamar, kebetulan kedua orang tuaku sedang berkumpul. Aku langsung mendekati
mereka.
“Ada apa denganmu nak ?” Tanya ibuku
dengan wajah heran.
“Ibu, Ayah, apakah aku boleh
bertanya sesuatu ?” Tanyaku pelan dengan wajah penuh pertanyaan.
“Apa nak, tanyakan pada ayah dan ibu
bila ada yang janggal dihatimu.” Jawab ayahku dengan kata-kata yang aku yakin
ayah tahu suatu hal.
“Apakah ayah dan ibu menyembunyikan
sesuatu padaku ?” Tanyaku lagi pada mereka.
Tiba-tiba suasana hening. Kedua
mulut mereka terdiam seakan enggan menjawab pertanyaan yang selalu menghantuiku
akhir-akhir ini. Kedua mataku tak henti menatap mereka. Aku berharap mereka
segera mengatakan sesuatu padaku. Ayo ibu, ayo ayah, katakan padaku apa yang
kalian sembunyikan dariku. Rasa ingin tahuku semakin menggunung. Tapi sebelum
pertanyaan itu dijawab oleh mereka, kehebohan terjadi didalam rumah megah itu.
Tiba-tiba terdengar suara benda yang terjatuh. Ya, beberapa guci yang ada
dimeja dijatuhkan oleh Dian. Aku dan kedua orang tuaku segera keluar dari
kamar. Mengamuknya Dian membuat seisi rumah diam kaku. Dia menatapku dengan
penuh rasa kebencian. Aku semakin tak mengerti hidup ini. Apa salahku pada Dian
hingga dia sebenci itu padaku ? Seketika Dian melemparkan pecahan guci tersebut
kearahku. Tapi syukur, dengan cepat aku segera menghindar. Tingkah Dian sendiri
membuat tangan kanan ayahnya mendarat dipipi kanannya. Keadaan lebih hening
lagi. Aku semakin tertunduk, seakan ini salahku seutuhnya. Dian menatap ayahnya
sangat dalam, perlahan air mata yang sangat jarang terlihat begitu saja
menetes. Aku pun semakin ingin tahu, dengan alasan apa Pak Wardana selalu
membelaku. Pak Wardana mendekati kami, dia menatap kedua orang tuaku. Aku
semakin heran dengan tingkah semua orang yang ada disini. Kedua orang tuaku menganggukan
kepala. Ada apa ini ? Apa yang mereka setujukan dari tatapan pak Wardana ? Oh
Tuhan, aku semakin sulit untuk memahami apa yang terjadi. Apa yang akan Engkau
tunjukan padaku.
“Katakanlah Tuan Wardana, mungkin ini
waktu yang tepat.” Kata ayah sambil memegang pundak Pak Wardana.
Sosok mulia sekaligus saudagar kaya
raya itu tersenyum pada ayah. Kepalaku yang semakin tak kuat untuk menerima
ribuan pertanyaan lainnya semakin tak karuan. Sesuatu akan segera aku ketahui.
Aku dan kedua orang tuaku diminta untuk mengikuti Pak Wardana dari belakang.
Dan tak disangka kami diajaknya kekamar putri tunggalnya itu. Aku berharap ini
tidak akan membuat keadaan semakin parah. Aku berharap keadaan akan baik-baik
saja. Awalnya putri tunggal Pak Wardana enggan membukakan pintu kamarnya. Tapi,
atas bujukan Pak Wardana sendiri, Dian mau membukakan pintunya. Dan kami pun
masuk meski aku masih dalam keadaan penuh tanya. Ini adalah pertama kalinya aku
memasuki kamar itu. Aku melihat Dian yang duduk sambil merangkul kakinya diatas
kasur. Disaat aku mulai memasuki kamar Dian, terlihat dinding kamarnya terdapat
banyak tulisan tangan Dian dengan kalimat Ayu seorang pembunuh, Aku sangat
membenci Ayu, Aku benci gadis lumpuh itu, Aku rindu sosok ibuku, dan masih
banyak lagi. Semua tulisan itu membuat ku semakin tak mengerti maksud Dian. Pak
Wardana menatapku. Aku semakin tak punya keberanian untuk memasuki kamar itu yang
menurutku itu adalah neraka. Beribu pertanyaan semakin menghantuiku. Siapa orang
yang aku bunuh ? Ayah, ibu, ada apa ini ?
Sekejap aku langsung menatap tajam kedua malaikatku yang berdiri tepat
dibelakangku. Satu pertanyaan yang semakin menggerogoti otakku. Siapa sosok Ayu
Ningrum sebenarnya ? Adakah sesuatu yang telah terjadi saat aku belum
mengetahui kejamnya dunia ? Ini tak adil tuhan. Cukup engkau ambil satu kaki
milikku. Tanpa harus engkau buat aku tersiksa. Aku enggan keadaan semakin
menyiksaku seperti ini. Aku yakin ada alasan yang tak aku ketahui mengapa Dian sangat membenciku. Aku
mulai berbicara meski perih mulai terasa.
“Apakah aku boleh tau siapa aku
sebenarnya ? Apakah aku boleh tau, apa maksud Dian menulis semua ini ? Aku
harap kalian yang sedang mendengarkanku sekarang, menjawab dengan jujur. Aku
mohon tidak ada lagi dusta dirumah ini.” Pintaku pada mereka dengan wajah
terlihat tak bersemangat.
“Ayu Ningrum, dengarkan aku. Kau
adalah anakku. Kau anak keduaku. Kau putriku. Dan Dian adalah saudara perempuanmu.
Maafkan ayahmu ini nak, maafkan ayah yang telah bersembunyi dari kenyataan
pahit ini.” Jelas Pak Wardana pada Ayu putri bungsunya.
“Anda bercanda terlalu berlebihan tuan
Wardana! Ini cukup membuatku ingin tertawa. Tidak puaskah anda dengan tersiksanya
aku dalam keadaan ini ?” Balas Ayu dengan tetesan air mata dipipinya.
“Ini fakta nak, inilah kenyataan
hidup. Inilah yang kami sembunyikan darimu selama ini. Maafkan kami nak,
maafkan ayah.” Ucap Pak Wardana sambil menatapku hingga air mata tak terbendung
lagi.
Keadaan sejenak hening. Tidak ada
yang mampu dan tidak ada yang memberanikan diri untuk mulai angkat bicara. Tapi
Pak Wardana berusaha tetap menjelaskan apa yang terjadi selama 16 tahun yang
lalu. Keadaan semakin sulit untuk ku pahami.
“Nak, dengarkan aku. Aku ayah mu.
Ayah kandungmu. 16 tahun yang lalu, saat Dian berumur 4 tahun dan kau baru saja
berumur beberapa bulan, disaat itu keadaan badanmu sangat panas. Kami
sekeluarga panik. Dan saat perjalanan menuju rumah sakit, kecelakaan hebat yang
pernah aku ceritakan padamu itu menimpa keluarga kita. Ya, akibatnya kakimu harus
diamputasi. Ayah tidak sanggup harus menerima kenyataan yang begitu pahit itu.”
Pak Wardana berusaha menceritakan semua.
“Ya, ini mungkin kenyataan yang
sangat membuatku tak sanggup bernafas. Pak Wardana, apakah aku boleh mengetahui
alasanmu enggan mengakui sebagai anakmu ?” Tanya Ayu dengan mata yang masih
berbinar-binar.
“Nak, sekali lagi maafkan ayah. Ayah
bukan bermaksud enggan mengakuimu. Tapi ayah masih belum bisa menerima pahitnya
kenyataan yang ayah terima, ayah terlalu depresi dengan kejadian itu. Harus
menerima perginya orang yang sangat ayah sayangi. Harus menerima keadaan kalian
berdua yang cacat. Tapi Ayah pikir, rasanya cukup dengan 16 tahun, semua ini
disembunyikan. Ayah tidak ingin engkau lebih marah dengan keadaan ini.” Jelas
Pak Wardana lagi.
“Ini sangat tidak bisa dipercaya.
Apa alasan ibu mengatakan bahwa rumah kita terbakar saat malam tahun baru itu ?
Apa ingin kalian dariku ? Apakah kalian menginginkanku tidak hidup ? Dan kau
Dian, kakak perempuanku, apakah kau tau, bila aku tau, aku akan terlahir dengan
keadaan ini, mungkin aku akan memohon pada tuhan agar ia tidak menciptakanku.
Bila aku tau, ibuku tersayang akan pergi meninggalkan kita disaat ia
mengantarkanku kerumah sakit, mungkin aku tidak akan memilih untuk sakit. Tapi
aku tidak mengetahui takdir Dian. Aku hanya gadis kecil yang ingin hidup
bahagia. Aku punya hak untuk hidup meski keadaanku yang tak sempurna, hargai
aku!” ucapku panjang lebar dengan air mata yang semakin mengucur.
“Maafkan kami nak, maafkan ibu yang
ikut berbohong dalam keadaan ini. Maafkan ibu yang membuat kamu tersiksa dengan
keadaan ini.” Kata ibunya yang hanya mampu mengucap maaf.
“Ayu, maafkan ayah nak. Maafkan ayah
yang sempat tidak menerima takdir. Ayah mengaku salah.” Lanjut Ayah kandung Ayu
sambil beranjak untuk memeluk Ayu.
“Ayah, maafkan Ayu, maafkan Ayu
karena sempat emosi dengan keadaan ini. Ya, ayu mengerti bagaimana perasaan
ayah saat itu. Tapi bagaimana dengan kak Dian ? Apakah dia akan menerima ayu
dikeluarga ini dengan keadaan seperti ini ? Ayu sungguh letih ayah bila harus
menerima caci-maki terus-menerus darinya.” Ucapnya dengan suara yang penuh
kelembutan.
“Ayah yakin, Dian akan menerima kamu
nak. Dian pasti akan mengerti keadaan ini.” Kata Pak Wardana sambil memberi
semangat pada Ayu.
Perbincangan yang terjadi saat itu
menjadi tontonan menakjubkan bagi kedua orang tua angkat Ayu dan Dian.
Tersenyum dengan sikap Ayu yang sangat mudah untuk memaafkan karena mereka
merasa telah berhasil mendidik Ayu meski hanya jadi orang tua angkatnya. Perlahan
Dian menolehkan kepalanya kearahku dan ayah dengan tetesan air mata yang mulai
membasahi pipi merahnya. Tiba-tiba Dian langsung berlari memeluk aku dan ayah.
Suara tangisan semakin terdengar. Dian menatapku masih dengan air matanya. Dian
berusaha mengucapkan sesuatu dari mulutnya. Kalimat yang diucapkannya sedikit
tidak jelas karena pangkal lidahnya yang putus saat kecelakaan itu. Aku terus
mencoba untuk memahami. Satu kalimat yang terdengar meski tak begitu jelas
yaitu, ‘Ayu... maafkan kakak. Aku sayang kamu!” kalimat yang membuatku semakin
meneteskan air mata menahan haru. Terima kasih tuhan, terima kasih bahagia yang
kau beri untukku dan keluargaku meski ibu hanya bisa tersenyum di surga sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar